Cerpen "Ketika Senja Menyapa"
Ketika
Senja Menyapa
Oleh :
Indriajengs
Selama ini dalam kehidupanku sosok perempuan memang lebih
mendominasi keberadaannya. Banyak yang bilang bahwa sebagai laki-laki aku
terlalu memberi perhatian kepada mereka. Memang prinsip hidupku hanyalah ingin
membahagiakan semua orang.
Tapi sebagian orang tidak mengerti akan hal itu. Menganggap diriku
pemberi harapan palsu atau bahkan pemain cinta. Sungguh, dalam hal ini aku
tidak pernah melibatkan perasaanku terhadap mereka. Aku menyayangi mereka sama,
sebagai teman tidak lebih dari itu. Kalaupun mereka mempunyai perasaan yang
lebih terhadapku apakah itu salah.
“Dit, anterin
pulang ya, ayah tidak bisa menjemput hari ini”, Nella yang datang dari belakang
langsung menepuk bahuku ketika sedang menstater motor.
“Iya, ayo.
Langsung pulang atau mau mampir dulu?”
“Emmm, ke toko
buku dulu aja ya.”
“Oke, siap.” Aku
memberikan senyuman yang manis kepada Nella untuk meyakinkannya kesediaanku
menemani dan mengantarkannya. Dan aku mendapat balasan senyum yang lebih manis
darinya.
Namun bukan hanya kepada Nella aku memberi senyuman manis. Menurutku
semua teman perempuanku sama, jadi aku memperlakukan yang sama kepada mereka dan
itu bukanlah hal yang salah bagiku.
***
“Kamu belum
pulang?” aku menegur sosok perempuan di dalam ruangan yang telah kuperhatikan
sejak tadi.
“Oh, hai Radit.
Sebentar lagi pulang, kamu sendiri kenapa masih disini?”
“Ini juga mau
balik. Sekalian aku antar yuk,” penawaran yang bukan kali ini saja aku berikan
kepada perempuan itu.
“Makasih Dit,
aku jalan kaki saja,” penolakan yang berkali-kali pula oleh perempuan itu terhadap
tawaranku.
Banyak orang yang meminta bantuan kepadaku tanpa pernah aku
tolak. Banyak pula tawaran bantuan yang kuberikan yang selalu diterima dengan
senang hati oleh mereka. Tapi ada satu perempuan, orang yang keberadaannya
tidak jauh dariku yang tidak pernah meminta tolong kepadaku, pun tidak pernah
menerima pertolonganku.
Perempuan yang ingin kudekati, ingin kukenal lebih jauh tapi
selalu menjauh saat aku berusaha mendekatinya.
Entah mulai kapan aku selalu memikirkannya. Sejak pertama kali
melihatnya menatap lembayung senja di hamparan padang rumput yang luas. Tempat pertama
kali aku melihat sosok itu tanpa menyadari bahwa perempuan itu selalu belajar
di gedung yang sama denganku.
Aku selalu menatapnya dari jauh. Saat dia dengan percaya diri
menjelaskan presentasi di depan kelas. Saat dengan sopan dan hormat ia
berdiskusi dengan dosen. Saat ia berkelakar dan tertawa bersama teman-temannya.
Saat dia tersenyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Juga saat yang paling
kusuka adalah ketika perempuan itu menghadap barat menatap langit jingga di
sore hari. Dan aku tahu bahwa dia penyuka senja.
Ku
terpikat pada tuturmu
Aku
tersihir jiwamu
Terkagum
pada pandangmu
Caramu
melihat dunia
Kuharap
kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu
Ku
tak harus memilikimu
Tapi
bolehkah ku slalu di dekatmu
***
“Kamu tahu filosofi senja?” aku
terkejut saat dia berbalik dan menatapku yang dari tadi memperhatikannya dari
belakang. Hampir setiap sore dimusim kemarau ini aku berada disini. Padang
rumput yang luas dimana permadani langit terhampar. Memperhatian dia yang
sedang memandang senja. Aku pikir selama ini dia tidak menyadari keberadaanku
sampai saat ini dia mengajakku berbicara.
“Senja itu pemberi harapan
palsu.” Dia berbalik dan duduk dihamparan rumput. Aku mendekat dan duduk di
sebelahnya. Kulihat pandangan matanya menerawang tapi tidak lepas dari langit
jingga.
“Senja itu pemberi harapan palsu.
Keindahannya hanya sesaat. Setiap hari aku menunggunya lama disini, tapi hanya
beberapa saat dia hadir.” Dia menoleh kearahku dan tersenyum penuh arti.
“Tapi senja itu mengajarkan kita
satu hal.”
“Apa?” entah mengapa mataku tidak
bisa lepas untuk memandangnya.
“Kepuasan. Walau hanya beberapa
menit senja itu hadir, tapi aku selalu puas menatapnya. Begitu juga hidup,
banyak hal yang kita inginkan tapi tidak kita dapat, namun Tuhan selalu
menyediakan yang kita butuhkan. Bukankah kita harus puas menerima itu semua.”
“Senja itu pertemuan tanpa
perpisahan,” aku mengucapkannya dengan mengalihkan pandangan ke langit.
“Senja adalah dimana rembulan
merindukan matahari dan matahari mengharapkan kehadiran rembulan. Tidak ada
yang salah dengan keindahan yang sekejap. Kehangatan matahari digantikan oleh
pesona rembulan.”
Dia menatapku yang kini berbalik
menatapnya. Lengkung dibibirnya mengguratkan keindahan yang tidak kalah dengan
senja.
“Aku tidak tahu apakah di belakangku
kamu menikmati senja atau mempunyai pemandangan yang lain. Tapi sepertinya akan
lebih indah jika kita mengagumi senja bersama.”
Mungkin dia mulai menyadari satu
hal yang sebelumnya telah kusadari hal itu.
Ada
ruang hatiku kini kau temukan
Sempat aku lupakan kini kau sentuh
Aku bukan jatuh cinta
Namun aku jatuh hati
Komentar
Posting Komentar