CERPEN "SIMFONI KERINDUAN"
Simfoni Merindu
Oleh
: indriajengs
Semakin
aku berlari semakin banyak pula tenaga yang kukeluarkan. Membuat diriku
semakin lelah. Untuk apa aku berlari, tidak ada yang mengejarku. Mungkin akan
lebih menyenangkan jika aku berjalan perlahan. Tanpa berlaripun aku akan
mencapai tujuan.
Tapi
dengan berlari itu membuatku lebih merasa lega. Semakin jauh darimu, semakin
jauh dari kenangan-kenangan yang telah terukir bersamamu.
Namun
tiba-tiba saja alarm ponselku berdering, mengingatkan bahwa hari ini ulang
tahunmu. Tanpa kuasaku, bayanganmu kembali. Kenangan kita begitu saja melintas
dalam otakku. Segalanya, tanpa bisa terkendali aku merindu sosokmu.
Semuanya
menjadi serba salah. Saat pikiran dan jiwaku terkendali untuk mengingatmu.
Pekerjaaanku berantakan, ide menulisku berhamburan, bahkan orang-orang terkasih
terabaikan.
Apa
yang telah kau lakukan padaku. Kenapa ingatan tentangmu menyita kehidupanku.
Ingin rasanya melihat wajah tampanmu, mendengar suara beratmu, menyaksikan
gerak-gerikmu. Aku pikir ini tidak benar. Seharusnya aku tidak boleh
mengenangmu, apalagi merindukanmu seperti ini. Mengapa rindu ini begitu
menyiksaku.
****
Entah sampai
kapan aku akan lelah menunggumu. Mereka bilang menunggu itu pekerjaan yang
sia-sia, apalagi yang kau tunggu semakin jauh berlari meninggalkanmu. Tapi
sebuah harapan, harapan kecil yang selalu kugenggam bahwa kau akan kembali.
Mungkin kau tidak kembali, tapi setidaknya menengok untuk melihatku. Memastikan
hati yang kau tinggalkan ini masih utuh.
Hari
ini ulang tahunku. Setitik kecil harapan dihatiku bahwa kau mengingatnya.
Sosokmu yang selalu kurindu tak pernah lekang oleh waktu.
Andai
bisa kulakukan, aku ingin mengejarmu. Berlari lebih kencang untuk menyusulmu.
Membawa harapan-harapan kecil untuk kusampaikan padamu. Tapi apa yang
kulakukan, saat ini aku masih saja disini, menunggumu. Merindumu bersama
kenangan-kenangan yang takkan pernah kuhapus dari memoriku.
****
“Hai, Je. Tumben kamu kesini.” Suara itu, suara berat yang lama tak kudengar.
Kuberanikan untuk mendongak, itu kamu. Benar, kamu yang bayangannya menghantui.
Kamu yang segala tentangmu mengusik hatiku akhir-akhir ini.
“Hari yang indah. Kamu sendirian? Ternyata masih tetap sama. Teh melati?!”
Senyum itu, nada bicara itu, raut wajah itu. Hatiku berkata itu kamu, tapi
anggota tubuhku seakan melawan.
****
Hawa
dingin seketika menyergapku, menyelimuti tubuhku yang terpaku. Sesaat aku mampu
mengerjapkan kedua bola mata, melangkahkan kaki untuk mendekat. Entah apa yang
kurasakan saat ini. Hatiku mati rasa.
Kekuatan
apa yang mendorongku untuk datang pada sosokmu, pikiranku hanya ingin
memastikan bahwa itu kamu. Kuasa apalagi yang Tuhan berikan hingga aku mampu
menyapamu.
Wajah
putih yang selalu kurindu itu menatapku, menunjukkan ekspresi terkejutmu.
Apalagi kehendak Tuhan. Disaat hatiku tidak dapat merasakan apa-apa ketika
memandangmu, mulutku masih Dia izinkan untuk berucap bahkan memberi pertanyaan
retorik tentang kesukaanmu.
“Kamu masih sering kesini?” Kudengar suaramu yang selama ini hanya terngiang
dalam bayang-bayang.
“Selalu. Ketika matahari lelah dan berjalan kembali keperaduannya. Aku disini, menunggumu.”
Perih, hatiku merasakannya saat kata-kata itu meluncur dari mulutku. Saat ini
sisa kekuatanku hanya kuusahakan agar pertahananku tidak runtuh. Agar aku mampu
menjaga tubuhku untuk tidak mendekapmu.
****
“Aku merindukanmu,” kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulutku, bersamaan
dengan setitik air bening yang mengalir dari kedua bola mataku disusul oleh
aliran air yang semakin deras.
Entah
bagaimana aku bisa mengucapkannya. Memandang wajahmu yang kini ada disampingku
meruntuhkan pertahananku. Begitu saja air mata menghujani pipi, aku hanya mampu
menutup mulutku agar isak ini tidak terdengar olehmu.
“Maafkan aku Je, aku laki-laki pengecut yang tidak berani mengejarmu. Hanya
menunggu dan menggenggam harapan yang bisa kulakukan.”
“Kamu melepaskanku, tapi masih menungguku. Aku benci denganmu, juga dengan
diriku sendiri yang masih sanggup merindukanmu. Andai kamu tahu, aku
mati-matian mengelak rasa itu, mencoba membuangnya tapi semakin banyak hal yang
kulakukan semakin banyak pula bayanganmu hadir.”
Kamu
memandangku dengan sendu, terlihat banyak hal yang ingin kau ucapkan. Tiba-tiba
saja aku mendengarmu terisak. Isakan yang semakin terdengar pilu. Isakan yang
menandakan kepedihan dan luka mendalam serta segala hal yang tidak mampu kau
ucapkan lewat kata-kata.
Ini
pertama kalinya aku melihatmu menangis. Kamu laki-laki paling kuat dan tegar
yang kukenal selama ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
Melihatmu seperti ini, aku hanya sanggup menahan air mataku sendiri yang
semakin deras.
“Maafkan aku jika membuatmu merindukanku. Aku tahu beratnya merindu seseorang.
Aku telah merindumu sejak kamu mulai berlari. Setiap saat hatiku terasa
tertusuk belati. Mengoyak hingga ke pikiran dan setiap inci tubuhku.”
“Aku tahu kita dua orang yang saling merindu. Dan obatnya hanyalah orang yang
kita rindukan.”
Dia
menyeka air matanya dan menatapku penuh arti. Baru kali ini setelah dia
melepaskanku aku merasa hatiku kembali hidup. Dan aku tahu, aku harus berhenti
berlari.
Komentar
Posting Komentar