Cerpen yang Termuat di Majalah BALEWARTA edisi April 2016


BALEWARTA adalah majalah di kampus UNESA tepatnya milik Fakultas Ilmu Pendidikan yang bertepat di daerah Lidah Wetan. Cerpen ini merupakan karya pertama saya yang termuat di majalah tersebut. Terimakasih kepada Ibu Trinil selaku editor dari tulisan saya ini :)


“Sepasang Anting dari Sang Pejuang”
Oleh : Arum

Gemericik air hujan di balik dinding kaca ruangan bernuansa putih ini menambah kelu hatiku. Setiap kali aku memandang wajahnya yang sendu, guratan yang semakin jelas terbentuk pada setiap bagiannya, memaksaku untuk mengenang setiap perjuangan yang telah dilakukannya selama hidupku.

Terlintas seperti gerbong shinkanzen yang beberapa waktu lalu membawaku ke bandara sebelum terbang menuju tempat ini, terlihat seperti kilat gerakan yang bergerak sangat cepat.

Terbuka semua kenangan yang hampir menguap dari lorong ingatan jangka panjangku. Terlintas birunya lautan dan aku merasakan tangan hangat nan lembut yang kala itu menuntunku menyusuri lembutnya pasir putih yang tergenang air laut di bibir pantai. Beralih pada senyum tulusnya kala mengatakan “hati-hati” ketika aku mulai mengayuh sepeda kecilku dengan menggendong tas punggung berbentuk teletubbies meninggalkan rumah. Berubah gambar dimana aku berdiri di depan pintu sebuah ruangan dan memperhatikannya berdiskusi dengan kepala sekolah memohon keringanan biaya pendidikanku. Beralih lagi saat aku memandangnya yang tengah menangis syukur campur haru dari atas podium. Berganti dengan getaran tangan ketika aku menciumnya dan tatapan tegar ketika menjawab salam saat aku meninggalkannya, menuju negara yang belum pernah kuinjakan kakiku sebelumnya. Semua gambar itu silih berganti seperti tayangan flashback yang sering ditampilkan di layar televisi.

Kenangan-kenangan tersebut telah mengundang isakku kembali setelah untuk beberapa saat aku merasa air mataku habis. Aku bergeming di tempat yang sama. Tidak ada gerakan darinya yang membuatku juga tidak mampu bergerak selain bibirku yang semakin bergetar seiring hujan yang turun dari kedua mataku, seirama dengan hujan di luar yang semakin menderas.

Ibu masih setia memejamkan mata. Seperti tidak merasa terganggu sama sekali oleh alat bantu pernafasan dan slang-slang yang menempel pada tubuhnya. Beliau hening dalam tidur panjang. Mungkin juga tidak mendengar sedu sedanku yang berada dua meter dari ranjang tempatnya terbaring.

Selama 24 tahun hidup, aku tidak begitu dekat dengan kedua orangtuaku. Ayah selalu sibuk bekerja. Saat usia dini ibu masih mengasuhku secara intensif sebab beliau bekerja di rumah. Namun setelah aku memasuki usia remaja, saat-saat krusial anak membutuhkan perhatian dan pengertian, ibu bekerja di luar rumah. Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Meninggalkan aku dan kakak laki-lakiku yang berbeda umur satu tahun melalui masa remaja tanpa pendampingan penuh orangtua. Meskipun kami tidak terjerumus dalam pergaulan yang buruk namun komunikasi kami dengan ayah dan ibu semakin memburuk. Kami sering membantah, tidak pernah saling berbagi cerita dan lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah. Aku bahkan sempat menganggap ibu yang seharusnya selalu ada untukku ternyata tidak peduli dan tidak menyayangiku. Aku iri dengan teman-temanku yang sering menghabiskan waktu bersama orangtua mereka. Tanpa memahami bahwa ibuku bekerja untuk membiayai pendidikanku dan juga kakakku.
Kenyataan itu membuatku semakin sesak. Walaupun sekarang selama dua tahun belajar di negeri orang aku sudah mulai banyak berkomunikasi, memberi kabar dan bercerita kepada ibu melalui kecanggihan teknologi, aku tetap merasa hal itu terlambat. 

Aku semakin merapatkan pelukan pada diriku sendiri. Udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan yang tepat berada di sebelah kiri atasku menambah dingin suasana hati dan melemparkanku pada masa- masa krisis ekonomi keluarga ketika aku berada di sekolah menengah atas.

“Apapun yang terjadi, seberapa besar uang yang kamu butuhkan, hindari untuk melepas anting kemudian menjualnya”, Ibu berkata ketika aku mengusulkan untuk menjual antingku guna membayar biaya praktek sekolah.

Pada saat itu, ayah yang bekerja sebagai buruh proyek bangunan sedang tidak mendapat pekerjaan sudah hampir satu bulan. Penghasilan ibu sebagai penjahit di konveksi hanya cukup bahkan terkadang kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sekolahku akan dilaksanakan ujian praktek dan para wali murid diwajibkan membayar biaya untuk itu sebesar Rp. 300.000,00. Bagi kami ketika itu, biaya tersebut sangat tinggi mengingat seharga dengan penghasilan ibu selama satu bulan.

Uang tersebut harus dibayarkan segera karena ujian praktek akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Sebelumnya, kakakku menerima panggilan kerja di ibukota dan telah menghabiskan seluruh tabungan ayah untuk persiapan serta biaya hidupnya. Sehingga, orangtuaku sedang tidak memiliki simpanan uang sepeserpun.

Aku memerhatikan anting-anting emas berbentuk bulat dengan permata kecil di tengah-tengahnya yang tergantung di cuping telingaku itu melalui cermin. Aku berpikir bahwa mungkin sepasang anting ini memiliki harga meskipun aku tidak tahu berapa berat dan kadar karatnya.

“Nanti kan bisa beli lagi setelah ayah bekerja dan mendapat uang, Bu,” aku mencoba untuk bernegosiasi dengan ibu.

Namun ibu tidak goyah terhadap perkataannya, “Pokoknya Ibu tidak akan membiarkan anak perempuan ibu tidak mengenakan anting”.

Aku masih mencoba membujuk ibu, “Aku kan berhijab, Bu. Tidak akan kelihatan pakai anting apa nggak”.

“Tidak ada anak perempuan Ibu yang melepas antingnya walau hanya satu menit”, pungkas ibu tegas. Dan aku tidak berani membantah perkataannya lagi.

Dua hari kemudian saat terakhir pembayaran biaya praktek, ibu memberikanku uang sejumlah yang dibutuhkan. Saat itu aku tidak bertanya dari mana beliau mendapatkan uang tersebut. Selang beberapa bulan aku baru mengetahui bahwa beliau menjual peralatan dapurnya yaitu piring-piring dan gelas-gelas simpanannya yang hanya digunakan saat ada acara besar di rumah. Aku tahu bahwa piring dan gelas tersebut merupakan barang berharga bagi ibu. Baginya mempunyai inventaris perkakas rumah tangga lebih berharga dari menyimpan emas permata.

“Sudah Win. Ibu pasti sembuh dan membuka matanya. Jangan putus berdoa kepada Allah SWT”, Mbak Ririn, kakak pertamaku memutus lamunanku tentang masa lalu.

“Kamu tahu kenapa Ibu tidak pernah membiarkan kita lepas anting?”, Mbak Ririn bertanya seolah tahu apa yang tadi terbayang dalam ingatanku.

Aku menghela napas berat. “Aku pikir bagi ibu, anting ini tanda kehormatan kita sebagai perempuan, mbak”, aku meraba anting di balik jilbabku. Anting yang telah kugunakan sejak berumur 40 hari.

“Meskipun kita kurang komunikasi tapi pada dasarnya kita tidak kurang perhatian dan kasih sayang. Ibu memiliki cara sendiri dalam memberi pemahaman hidup yang baik kepada kita. Anting ini sebagai simbol untuk menjaga harga diri karena baginya kita adalah putri-putrinya yang sangat berharga”, terangku pada Mbak Ririn.

Mbak Ririn terlihat berkaca-kaca, wajah ayu umur 35 tahunnya memancarkan sinar yang menyenangkan. “Pendidikanmu berhasil, Winda. Perjuangan ibu dalam mengantarmu ke pendidikan yang tinggi berhasil memberimu pemahaman hidup yang baik terlepas dari kehidupanmu saat remaja. Walaupun bukan langsung dari ibu, kamu mendapat pemahaman hidup melainkan dari perjuangan ibu, rencana hebat ibu kamu bisa menggapainya sendiri”.

“Aku mengerti, Mbak. Memang tidak seharusnya aku pernah merasa ibu tidak peduli dan tidak menyayangiku. Bahkan motivasiku hingga bisa mendalami studi parenting di Jepang adalah pengalaman masa kecilku. Mungkin kita pernah berpikir bahwa ibu tak memahami kita, namun di lain sisi nyatanya ibu sangat memahami hanya ibu tidak tahu bagaimana menunjukannya. Kebaikan ibu yang aku tahu belum seberapa dari seluruh kebaikannya, bahkan menenggelamkan segala keburukannya”. 

Untuk pertama kali aku dapat tersenyum sejak menginjakan kaki memasuki ruang perawatan ini. Mbak Ririn memelukku erat dan pada saat itu aku mendapati jari ibu bergerak perlahan.


~^^~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Anak Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)

Naskah Teater ''Asal Mula Kalangbret"

Parenting “Ketika Anakku Lelah” oleh Bunda Yirawati Sumedi, S.Psi (Tips Menjadi Orangtua Milenial)