Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Awal Kemerdekaan

Hanya ingin berbagi pengetahuan tentang salah satu pelajaran PKN kelas XII semester 1 :)





  Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Awal Kemerdekaan

1.  Sistem Pemerintahan pada Masa UUD 1945
Dalam kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas eksekutifnya kepada parlemen. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan pariemen tidak dapat saling menjatuhkan.
Pada masa UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal UUD 1945, di antaranya:
a. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar"
b. Pasal 17 ayat 1 UUD 1945 "Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara"
c. Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 "Menteri-menteri negara diangkat dan dihentikan oleh presiden"
d. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 "Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan"
Namun pada masa awal kemerdekaan, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat diterapkan karena sistem pemerintahan Indonesia pada waktu itu memiliki ciri tersendiri yaitu adanya pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada presiden.
Berdasarkan penjelasan Pasal IV Aturan Peralihan, bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional. Sehingga pada waktu itu kekuasaan presiden sebagai berikut.
a. Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat.
b. Presiden berwenang menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar.
c. Presiden melaksanakan kekuasaan pemerintahan.
d. Presiden berwenang menetapkan garis-garis besar haluan negara.
e. Presiden berwenang membuat segala bentuk peraturan perundangan.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945 memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden RI. Selanjutnya tanggal 22 Agustus 1945 sidang PPKI menetapkan beberapa penyelenggaraan negara dalam rangka melaksanakan aturan peralihan UUD 1945, di antaranya:
a. Membentuk partai politik sebagai alat perjuangan yaitu Partai Nasional Indonesia.
b. Membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
c. Membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai pembantu presiden sebelum DPR dan MPR dapat didirikan.
Pada masa ini dapat juga jabatan lain selain jabatan presiden yaitu wakil presiden, menteri-menteri dan Komite Nasional Indonesia (KNI) yang semuanya berfungsi sebagai pembantu presiden. Dengan keadaan seperti tersebut, maka presiden dapat melaksanakan kekuasaan yang besar, tanpa ada pengawasan dari badan Iainnya. Namun setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa selama belum dibentuknya MPR dan DPR, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat ) diberi kekuasaan Iegislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). Maka sejak saat itu kekuasaan presiden makin berkurang. Kekuasaan presiden sebagian beralih kepada KNIP. Hal ini menyebabkan berubahnya kedudukan presiden yaitu yang semula hanya sebagai badan pembantu presiden menjadi parlemen (Badan Perwakilan Rakyat).
Komite Nasional Indonesia diberi kekuasaan legislatif akan tetapi menteri-menteri kedudukannya sebagai pembantu presiden, dan sebelum maupun sesudah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X, menteri-menteri tetap bertanggungjawab kepada presiden, bahkan kepada KNIP. Selanjutnya atas usul Badan Pekerja KNIP, pada tanggai 11 November 1945 kepada presiden, Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 yang berisi bahwa para menteri bertanggung jawab pada parlemen (KNIP). Dengan demikian sejak saat itu para menteri bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan tidak bertanggungjawab Iagi kepada presiden. Sejak tanggal 14 November 1945 pula sistem pemerintahan Indonesia berubah yaitu dari sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer, akibat perubahan tersebut maka Soekarno sebagai presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipimpin oleh Sutan Syahrir.
Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan pada masa tersebut ternyata terdapat penyimpangan dari ketentuan UUD 1945, terutama karena faktor politik, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat (dibentuk PPKI, tanggai 22 agustus 1945) yaitu dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan Iegislatif (seharusnya DPR), dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (sesungguhnya wewenang MPR). Keputusan ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggai 16 Oktober 1945.
b. Terjadinya perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer berdasarkan usul badan pekeda Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggai 11 November 1945, yang kemudian disetujui oleh presiden dan di umumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggai 14 November 1945

2. Sistem Pemerintahan Pada Masa Konstitusi RIS 1949
Sistem pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS, dalam kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 17 agustus 1950 adalah parlementer. Penerapan sistem pemerintahan parlementer oleh Konstitusi RIS ini didasarkan pada:
a. Pasal 691 ayat 1 KRIS “Presiden ialah kepala Negara”
b Pasal 118 ayat 1 KRIS “Presiden tidak dapat diganggu gugat”
c Pasal 118 ayat 2 KRIS “Menteri menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu”
A.        Latar Belakang Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Belanda masih merasa mempunyai kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu negara bekas jajahan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda , dengan alasan :
·         Ketentuan Hukum Internasional
Menurut Hukum Internasional suatu wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti bahwa Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan bagian dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan di Hindia-Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/ penguasa semula.
·         Perjanjian Post dan Linggarjati
Yaitu perjanjian diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara Sekutu dengan pihak Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan dikembalikan kepada penguasa yang semula. Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa memiliki kedaulatan atas Hindia-Belanda secara De Jure. Akibat adanya pandangan ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya (Bewa Ragawino, 2007: 82-82). Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara Indonesia dengan Belanda pada tangga 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan Linggajati) yang antara lain menetapkan :
1.      Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda.
2.      Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS
3.      Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.
Hasil perundingan ini sesungguhnya merugikan bangsa Indonesia karena kedaulatan wilayah Indonesia semakin sempit. Selain itu, timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda Indonesa mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda, yaitu : 
1.    Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga hubungan luar negeri/ Internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
2.    Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama Pulau Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan oleh Indonesia.
3.    Belanda meminta dibuat Polisi bersama, tetapi Indonesia menolak.
Menurut Indonesia, Belanda menyerbu dan melanggar wilayah Negara Republik Indonesia yang telah diakuinya sendiri sehingga hal tersebut diistilahkan dengan agresi. Sedangkan menurut Belanda terjadinya agresi militer Belanda adalah dalam rangka penertiban wilayah Kedaulatan Belanda. Bentrok senjata Indonesia-Belanda ini kemudian dilerai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan melakukan genjatan senjata serta dibuat suatu perundingan baru di atas Kapal Renville tahun 1948 (Perjanjian Renville) yang menetapkan :
*      Belanda dianggap berdaulat penuh di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS.
*      RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
*      RI hanya merupakan bagian RIS
Tindak lanjut dari Perjanjian Renville ini, maka pihak PBB merencanakan pengadaan Konferensi antara Negara Republik Indonesia dan Belanda guna membahas mengenai Republik Indonesia Serikat. Konferensi ini dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mana diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konferensi ini, yaitu: Negara Republik Indonesia, BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg) dan Belanda, serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia. Pada tanggal 2 Nopember 1949, KMB menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu meliputi:
v  Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 
v  Penyerahan (baca: pengakuan) kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara RIS yang terdiri dari tiga persetujuan induk, yaitu:
a.       Piagam Pengakuan Kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara RIS
b.      Status UNI
c.       Persetujuan Perpindahan
v  Didirikannya UNI antara Negara RIS dengan kerajaan Belanda.
Sementara Konferensi Meja Bundar berlangsung, delegasi dari Negara Republik Indonesia dan Delegasi dari negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD) untuk Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD tersebut kenudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat, dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat dari negara-negara BFO. Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah negara Republik Indonesia Serikat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 54).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan Negara Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian).  
B.    Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai Muatan Konstitusi RIS
Sistem pemerintahan yang dianut pada masa Konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni melainkan Sistem Pariementer Kabinet semu (Quasi Parlementer). Karena dalam sistem parlementer murni, parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah (eksekutif), tapi kenyataan parlemen kedudukannya hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja. Sistem pemerintahan parlementer, kabinet semu (Quasi Parlementer) yang dianut oleh Konstitusi RIS, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana Iazimnya (Pasal 74 ayat 2).
b.      Kekuasaan perdana menteri masih dicampur tangani oleh presiden. Hal itu dapat dilihat pada  ketentuan bahwa presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah. Seharusnya presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri (Pasal 68 ayat 1).
c.       Kabinet dibentuk oleh presiden, bukan oleh parlemen (Pasal 74).
d.      Pertanggungjawaban menteri baik secara perorangan maupun bersama-sama adalah kepada DPR, namun harus melalui keputusan pemerintah (Pasal 74 ayat 5).
e.       Parlemen tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya pengaruh besar terhadap pemerintah. DPR juga tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya terhadap Kabinet (Pasal 118 dan 122).
f.       Presiden RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Pasal 68 dan 69).

C.      Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Negara Republik Indonesia Serikat

Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949, perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang federalistik semakin kuat, rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan tersebut dilakukan rakyat Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor kesamaan pemikiran ini, beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia.
Akibat dari adanya penggabungan ini, maka negara Republik Indonesia Serikat terdiri dari tiga negara bagian yaitu meliputi negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur. Atas kejadian ini maka kewibawaan pemerintahan negara federal menjadi berkurang dan sebagai solusinya maka diadakan permusyawaratan antara pemerintah negara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia (mewakili negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur). Dari permusyawaratn tersebut dihasilkan keputusan bersama yaitu persetujuan 19 Mei 1950 yang pada pokoknya disetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama melaksanakan negara kesatuan dan untuk itu diperlukan sebuah undang-undang dasar Sementara dari kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga essentialia UUD 1945 yaitu antara lain pasal 27, pasal 29, pasal 33 ditambah bagian-bagian yang baik dari konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya

3. Sistem Pemerintahan pada Masa UUDS 1950 
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Sementara 1950 yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 adalah parlementer. Hai ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut.
a.       Pasal 45 ayat1 UUDS 1950 "Presiden adalah kepala negara"
b.      Pasal 83 ayat1 UUDS 1950 "Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat"
c.       Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950 "Menteri-menteri beitanggungjawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri"
d.      Pasal 84 UUDS 1950 "Presiden berhak membubarkan DPR, keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari"
Namun sistem pemerintahan yang dianut UUDS 1950, tidak jauh berbeda dengan yang dianut oleh Konstitusi RIS 1949 yaitu sistem parlementer semu (Quasi parlementer). Ketidakmurnian (semu) parlementer pada masa UUDS 1950 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Perdana menteri diangkat oleh presiden (seharusnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 2).
2)      Kekuasaan perdana menteri sebagai ketua dewan menteri masih dicampurtangani oleh presiden (seharusnya presiden hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahannya adalah perdana menteri) (Pasal 46 ayat 1).
3)      Pembentukan kabinet dilakukan oleh presiden dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang pembentuk kabinet (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 50 - 51 ayat 1).
4)      Pengangkatan atau penghentian menteri-menteri dan kabinet dilakukan dengan keputusan presiden (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 5).
5)      Presiden dan wakil presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) (Pasal 45 - 46 ayat 1) .
Berdasarkan penjelasan di atas, ditunjukkan bahwa sistem pemerintahan dalam UUDS 1950, adalah sistem parlementer yang masih terdapat pula ciri-ciri Kabinet presidensil. Dan juga sistem pemerintahan yang dianut dalam konstitusi RIS, masih dapat ditemukan dalam UUDS 1950.
Pada tanggal 1 April 1953, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yaitu UU No. 7 tahun 1953 diumumkan selanjutnya tanggal 29 September 1955 diadakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama kali di Indonesia, pemilu ini diselenggarakan untuk memilih anggota DPR. Pada tanggal 10 November 1956 Konstituante hasil pemilu 1955 mulai menggelar sidangnya di Bandung. Dalam sidang ini agenda utama adalah menetapkan _UUDS 1950. Namun seteiah bersidang selama tiga tahun, badan yang bertugas membuat konstitusi tersebut gagal membuat UUD baru. Kegagalan ini disebabkan karena adanya perdebatan panjang diseputar persoalan dasar negara. Pada tanggal 25 April 1950, presiden Soekarno memberikan amanatnya dalam sidang Konstituante agar menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Seianjutnya tanggal 29 Mei 1950 konstituante kembali bersidang, namun perdebatan tentang dasar negara Republik Indonesia masih saja terjadi. Karena konstituante telah dianggap gagal menetapkan UUD 1945, akhirnya tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekamo mengeluarkan Dekrit yang berisi:
1) Pembubaran Konstituante.
2) Beriakunya kembali Undang-Undang Dasar1945.
3) Pembentukan MPRS dan DPRS.
 
4. Sistem Pemerintahan pada Masa UUD 1945 Orde Lama (ORLA)
Dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah dasar hukum berlakunya kembali Undang-Undang Dasar1945 dalam menggantikan UUDS 1950. Kurun waktu pemerintahan orde Iama adalah 5 Juli sampai dengan 11 Maret 1966. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pertentangan yang terjadi dalam badan Konstituante berakhir. Sistem pemerintahan parlementer ditinggalkan dan bangsa Indonesia kembali menganut kabinet presidensial. Dan presiden yang mengambil alih kekuasaan eksekutif yang tadinya dipegang oleh perdana menteri. Dalam pemerintahan orde Iama, sistem demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi terpimpin, yaitu demokrasi yang dipimpin oleh Pancasila dan UUD 1945. Dengan demokrasi terpimpin segala kebijakan dan peraturan-peraturan maupun perundang-undangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Presiden Soekarno memilih Demokrasi terpimpin yang dianggap khas di Indonesia karena sesuai dengan sila ke 4 Pancasila. Kata "terpimpin" mengacu pada " .... dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan .... ". Tetapi ternyata pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tidak secara terpimpin oleh Pancasiia dan UUD 1945 namun cenderung terpimpin oleh presiden.
Penerapan Demokrasi Terpimpin menyebabkan penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945, di antaranya adalah:
1)      Penyimpangan ideologis, yaitu konsepsi Pancasila telah berubah menjadi konsepsi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
2)      Pelaksanaan demokrasi terpimpin berubah menjadi pemusatan kekuasaan pada presiden dengan wewenang yang melebihi dari ketentuan yang ada di UUD 1945, yaitu mengeluarkan produk hukum setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR, dalam bentuk penetapan presiden (penpres).
3)      Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS melalui ketetapan MPRS No III/ MPRS/1963
4)      Presiden pada tahun 1960 membubarkan DPR hasil pemiiu tahun 1955, karena DPR tidak menyetujui RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Selanjutnya tanpa melalui pemllu dibentuklah DPR-GR.
5)      Hak budget DPR tidak berjalan setelah tahun 1960 karena pemerintah tidak mengajukan RUU- APBN untuk mendapat persetujuan dari DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
6)      Mengangkat pimpinan lembaga tertinggi (MPRS) dan lembaga tinggi (DPR) negara menjadi menteri negara, yang berarti juga sebagai pembantu presiden
7)      Penyelewengan politik luar negeri bebas aktif yaitu politik luar negeri yang berporoskan Jakarta-Peking ,Phnompen - Pyong - Yang. Akibatnya terjadi konfrontasi dengan Malaysia, dan pada akhirnya Indonesia keluar dari PBB.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Anak Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)

Naskah Teater ''Asal Mula Kalangbret"

Parenting “Ketika Anakku Lelah” oleh Bunda Yirawati Sumedi, S.Psi (Tips Menjadi Orangtua Milenial)