Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Awal Kemerdekaan
Hanya
ingin berbagi pengetahuan tentang salah satu pelajaran PKN kelas XII semester 1
:)
Sistem Pemerintahan
Indonesia menurut UUD 1945 Awal Kemerdekaan
1. Sistem Pemerintahan pada
Masa UUD 1945
Dalam kurun waktu 18 Agustus 1945
sampai dengan 27 Desember 1949, sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD
1945 adalah presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden
mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas eksekutifnya kepada parlemen. Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan
pariemen tidak dapat saling menjatuhkan.
Pada masa UUD 1945 menganut sistem
pemerintahan presidensial, hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal UUD 1945,
di antaranya:
a. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 "Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar"
b. Pasal 17 ayat 1 UUD 1945
"Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara"
c. Pasal 17 ayat 2 UUD 1945
"Menteri-menteri negara diangkat dan dihentikan oleh presiden"
d. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945
"Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan"
Namun pada masa awal kemerdekaan,
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat diterapkan karena sistem
pemerintahan Indonesia pada waktu itu memiliki ciri tersendiri yaitu adanya
pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada presiden.
Berdasarkan penjelasan Pasal IV Aturan
Peralihan, bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini
segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional.
Sehingga pada waktu itu kekuasaan presiden sebagai berikut.
a. Presiden adalah pelaksana kedaulatan
rakyat.
b. Presiden berwenang menetapkan dan
mengubah Undang-Undang Dasar.
c. Presiden melaksanakan kekuasaan
pemerintahan.
d. Presiden berwenang menetapkan
garis-garis besar haluan negara.
e. Presiden berwenang membuat segala
bentuk peraturan perundangan.
Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945 memilih Soekarno dan Mohammad Hatta
sebagai presiden dan wakil presiden RI. Selanjutnya tanggal 22 Agustus 1945
sidang PPKI menetapkan beberapa penyelenggaraan negara dalam rangka
melaksanakan aturan peralihan UUD 1945, di antaranya:
a. Membentuk partai politik sebagai
alat perjuangan yaitu Partai Nasional Indonesia.
b. Membentuk Badan Keamanan Rakyat
(BKR).
c. Membentuk Komite Nasional Indonesia
(KNI) sebagai pembantu presiden sebelum DPR dan MPR dapat didirikan.
Pada masa ini dapat juga jabatan lain
selain jabatan presiden yaitu wakil presiden, menteri-menteri dan Komite
Nasional Indonesia (KNI) yang semuanya berfungsi sebagai pembantu presiden.
Dengan keadaan seperti tersebut, maka presiden dapat melaksanakan kekuasaan
yang besar, tanpa ada pengawasan dari badan Iainnya. Namun setelah dikeluarkan
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa selama
belum dibentuknya MPR dan DPR, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat ) diberi
kekuasaan Iegislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara
(GBHN). Maka sejak saat itu kekuasaan presiden makin berkurang. Kekuasaan
presiden sebagian beralih kepada KNIP. Hal ini menyebabkan berubahnya kedudukan
presiden yaitu yang semula hanya sebagai badan pembantu presiden menjadi
parlemen (Badan Perwakilan Rakyat).
Komite Nasional Indonesia diberi
kekuasaan legislatif akan tetapi menteri-menteri kedudukannya sebagai pembantu
presiden, dan sebelum maupun sesudah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X,
menteri-menteri tetap bertanggungjawab kepada presiden, bahkan kepada KNIP.
Selanjutnya atas usul Badan Pekerja KNIP, pada tanggai 11 November 1945 kepada
presiden, Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945
yang berisi bahwa para menteri bertanggung jawab pada parlemen (KNIP). Dengan
demikian sejak saat itu para menteri bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan
Rakyat yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan tidak bertanggungjawab
Iagi kepada presiden. Sejak tanggal 14 November 1945 pula sistem pemerintahan
Indonesia berubah yaitu dari sistem pemerintahan presidensial menjadi
parlementer, akibat perubahan tersebut maka Soekarno sebagai presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipimpin oleh Sutan
Syahrir.
Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan
pada masa tersebut ternyata terdapat penyimpangan dari ketentuan UUD 1945,
terutama karena faktor politik, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Berubahnya fungsi Komite Nasional
Pusat (dibentuk PPKI, tanggai 22 agustus 1945) yaitu dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan Iegislatif (seharusnya DPR), dan
ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (sesungguhnya wewenang MPR).
Keputusan ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggai 16 Oktober
1945.
b. Terjadinya perubahan sistem Kabinet
Presidensial menjadi Kabinet Parlementer berdasarkan usul badan pekeda Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggai 11 November 1945, yang
kemudian disetujui oleh presiden dan di umumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggai
14 November 1945
2. Sistem Pemerintahan Pada Masa
Konstitusi RIS 1949
Sistem pemerintahan Indonesia menurut
Konstitusi RIS, dalam kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 17 agustus
1950 adalah parlementer. Penerapan sistem pemerintahan parlementer oleh
Konstitusi RIS ini didasarkan pada:
a. Pasal 691 ayat 1 KRIS “Presiden
ialah kepala Negara”
b Pasal 118 ayat 1 KRIS
“Presiden tidak dapat diganggu gugat”
c Pasal 118 ayat 2
KRIS “Menteri
menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama
sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri
dalam hal itu”
A.
Latar
Belakang Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 Belanda masih merasa mempunyai kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu
negara bekas jajahan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda , dengan alasan :
·
Ketentuan
Hukum Internasional
Menurut Hukum Internasional suatu
wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti bahwa
Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan bagian
dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan
di Hindia-Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/ penguasa semula.
·
Perjanjian
Post dan Linggarjati
Yaitu perjanjian diadakan menjelang
berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara Sekutu dengan pihak
Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia
II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan dikembalikan
kepada penguasa yang semula. Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa
memiliki kedaulatan atas Hindia-Belanda secara De Jure. Akibat adanya pandangan
ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata antara Tentara Rakyat Indonesia
(TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya (Bewa Ragawino,
2007: 82-82). Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara
Indonesia dengan Belanda pada tangga 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan
Linggajati) yang antara lain menetapkan :
1. Belanda
mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di
wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda.
2. Belanda
dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS
3. Belanda
dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.
Hasil perundingan ini sesungguhnya
merugikan bangsa Indonesia karena kedaulatan wilayah Indonesia semakin sempit.
Selain itu, timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda Indonesa mengenai
soal Kedaulatan Indonesia-Belanda, yaitu :
1. Sebelum
RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga hubungan
luar negeri/ Internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
2. Menurut
Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama Pulau
Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan
oleh Indonesia.
3. Belanda
meminta dibuat Polisi bersama, tetapi Indonesia menolak.
Menurut Indonesia, Belanda menyerbu dan
melanggar wilayah Negara Republik Indonesia yang telah diakuinya sendiri
sehingga hal tersebut diistilahkan dengan agresi. Sedangkan menurut Belanda
terjadinya agresi militer Belanda adalah dalam rangka penertiban wilayah
Kedaulatan Belanda. Bentrok senjata Indonesia-Belanda ini kemudian dilerai oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan melakukan genjatan senjata serta dibuat
suatu perundingan baru di atas Kapal Renville tahun 1948 (Perjanjian Renville)
yang menetapkan :
Belanda
dianggap berdaulat penuh di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS.
RIS
mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
RI
hanya merupakan bagian RIS
Tindak lanjut dari Perjanjian Renville
ini, maka pihak PBB merencanakan pengadaan Konferensi antara Negara Republik
Indonesia dan Belanda guna membahas mengenai Republik Indonesia Serikat.
Konferensi ini dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mana diadakan mulai
tanggal 23 Agustus 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Terdapat tiga pihak yang
terlibat dalam konferensi ini, yaitu: Negara Republik Indonesia, BFO
(Byeenkomst voor Federal Overleg) dan Belanda, serta sebuah komisi PBB untuk
Indonesia. Pada tanggal 2 Nopember 1949, KMB menghasilkan beberapa kesepakatan,
yaitu meliputi:
v Didirikannya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
v Penyerahan
(baca: pengakuan) kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah
Negara RIS yang terdiri dari tiga persetujuan induk, yaitu:
a.
Piagam
Pengakuan Kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara
RIS
b.
Status
UNI
c.
Persetujuan
Perpindahan
v Didirikannya
UNI antara Negara RIS dengan kerajaan Belanda.
Sementara Konferensi Meja Bundar
berlangsung, delegasi dari Negara Republik Indonesia dan Delegasi dari
negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD) untuk
Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD tersebut
kenudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional
Indonesia Pusat, dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat
dari negara-negara BFO. Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai
berlaku pada hari pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada
pemerintah negara Republik Indonesia Serikat, yaitu pada tanggal 27 Desember
1949 (Soehino, 1992: 54).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan Negara Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan Negara Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian).
B. Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai Muatan Konstitusi RIS
Sistem pemerintahan yang dianut pada
masa Konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni melainkan Sistem
Pariementer Kabinet semu (Quasi Parlementer). Karena dalam sistem parlementer
murni, parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang sangat menentukan
terhadap kekuasaan pemerintah (eksekutif), tapi kenyataan parlemen kedudukannya
hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja. Sistem pemerintahan parlementer,
kabinet semu (Quasi Parlementer) yang dianut oleh Konstitusi RIS,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengangkatan
perdana menteri dilakukan oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana
Iazimnya (Pasal 74 ayat 2).
b. Kekuasaan
perdana menteri masih dicampur tangani oleh presiden. Hal itu dapat dilihat
pada ketentuan bahwa presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan
pemerintah. Seharusnya presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala
pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri (Pasal 68 ayat 1).
c. Kabinet
dibentuk oleh presiden, bukan oleh parlemen (Pasal 74).
d. Pertanggungjawaban
menteri baik secara perorangan maupun bersama-sama adalah kepada DPR, namun
harus melalui keputusan pemerintah (Pasal 74 ayat 5).
e. Parlemen
tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya
pengaruh besar terhadap pemerintah. DPR juga tidak dapat menggunakan mosi tidak
percaya terhadap Kabinet (Pasal 118 dan 122).
f. Presiden
RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan (Pasal 68 dan 69).
C.
Faktor-Faktor
Penyebab Runtuhnya Negara Republik Indonesia Serikat
Sejak terbentuknya Negara Republik
Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27
Desember 1949, perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang
federalistik semakin kuat, rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang
unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan tersebut dilakukan rakyat
Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut terjadi di
berbagai daerah. Karena faktor kesamaan pemikiran ini, beberapa daerah bagian
menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia.
Akibat dari adanya penggabungan ini,
maka negara Republik Indonesia Serikat terdiri dari tiga negara bagian yaitu
meliputi negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera
Timur. Atas kejadian ini maka kewibawaan pemerintahan negara federal menjadi
berkurang dan sebagai solusinya maka diadakan permusyawaratan antara pemerintah
negara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia
(mewakili negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera
Timur). Dari permusyawaratn tersebut dihasilkan keputusan bersama yaitu persetujuan
19 Mei 1950 yang pada pokoknya disetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
untuk bersama-sama melaksanakan negara kesatuan dan untuk itu diperlukan sebuah
undang-undang dasar Sementara dari kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah
konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga essentialia UUD 1945 yaitu antara lain
pasal 27, pasal 29, pasal 33 ditambah bagian-bagian yang baik dari konstitusi
Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya
3. Sistem Pemerintahan pada Masa UUDS
1950
Sistem pemerintahan yang dianut oleh
Undang-Undang Sementara 1950 yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan
5 Juli 1959 adalah parlementer. Hai ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut.
a. Pasal
45 ayat1 UUDS 1950 "Presiden adalah kepala
negara"
b. Pasal
83 ayat1 UUDS 1950 "Presiden dan Wakil Presiden
tidak dapat diganggu gugat"
c. Pasal
83 ayat 2 UUDS 1950 "Menteri-menteri beitanggungjawab
atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya,
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri"
d. Pasal
84 UUDS 1950 "Presiden berhak membubarkan DPR,
keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk
mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari"
Namun sistem pemerintahan yang dianut
UUDS 1950, tidak jauh berbeda dengan yang dianut oleh Konstitusi RIS 1949 yaitu
sistem parlementer semu (Quasi parlementer). Ketidakmurnian (semu) parlementer
pada masa UUDS 1950 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Perdana
menteri diangkat oleh presiden (seharusnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 2).
2) Kekuasaan
perdana menteri sebagai ketua dewan menteri masih dicampurtangani oleh presiden
(seharusnya presiden hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahannya
adalah perdana menteri) (Pasal 46 ayat 1).
3) Pembentukan
kabinet dilakukan oleh presiden dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang
pembentuk kabinet (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 50 - 51 ayat 1).
4) Pengangkatan
atau penghentian menteri-menteri dan kabinet dilakukan dengan keputusan
presiden (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 5).
5) Presiden
dan wakil presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara juga sebagai
kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) (Pasal 45 - 46 ayat 1) .
Berdasarkan penjelasan di atas,
ditunjukkan bahwa sistem pemerintahan dalam UUDS 1950, adalah sistem
parlementer yang masih terdapat pula ciri-ciri Kabinet presidensil. Dan juga
sistem pemerintahan yang dianut dalam konstitusi RIS, masih dapat ditemukan
dalam UUDS 1950.
Pada tanggal 1 April 1953,
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yaitu UU No. 7 tahun 1953 diumumkan
selanjutnya tanggal 29 September 1955 diadakan pemilihan umum (pemilu) yang
pertama kali di Indonesia, pemilu ini diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR. Pada tanggal 10 November 1956 Konstituante hasil pemilu 1955 mulai
menggelar sidangnya di Bandung. Dalam sidang ini agenda utama adalah menetapkan
_UUDS 1950. Namun seteiah bersidang selama tiga tahun, badan yang bertugas
membuat konstitusi tersebut gagal membuat UUD baru. Kegagalan ini disebabkan
karena adanya perdebatan panjang diseputar persoalan dasar negara. Pada tanggal
25 April 1950, presiden Soekarno memberikan amanatnya dalam sidang Konstituante
agar menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Seianjutnya tanggal 29
Mei 1950 konstituante kembali bersidang, namun perdebatan tentang dasar negara
Republik Indonesia masih saja terjadi. Karena konstituante telah dianggap gagal
menetapkan UUD 1945, akhirnya tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekamo mengeluarkan
Dekrit yang berisi:
1) Pembubaran Konstituante.
2) Beriakunya kembali Undang-Undang
Dasar1945.
3) Pembentukan MPRS dan DPRS.
4. Sistem Pemerintahan pada Masa UUD
1945 Orde Lama (ORLA)
Dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah
dasar hukum berlakunya kembali Undang-Undang Dasar1945 dalam menggantikan UUDS
1950. Kurun waktu pemerintahan orde Iama adalah 5 Juli sampai dengan 11 Maret
1966. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pertentangan yang
terjadi dalam badan Konstituante berakhir. Sistem pemerintahan parlementer
ditinggalkan dan bangsa Indonesia kembali menganut kabinet presidensial. Dan
presiden yang mengambil alih kekuasaan eksekutif yang tadinya dipegang oleh
perdana menteri. Dalam pemerintahan orde Iama, sistem demokrasi yang diterapkan
adalah demokrasi terpimpin, yaitu demokrasi yang dipimpin oleh Pancasila dan
UUD 1945. Dengan demokrasi terpimpin segala kebijakan dan peraturan-peraturan
maupun perundang-undangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Presiden Soekarno memilih Demokrasi terpimpin yang dianggap khas di
Indonesia karena sesuai dengan sila ke 4 Pancasila. Kata "terpimpin"
mengacu pada " .... dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan .... ". Tetapi
ternyata pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tidak secara terpimpin oleh Pancasiia
dan UUD 1945 namun cenderung terpimpin oleh presiden.
Penerapan Demokrasi Terpimpin
menyebabkan penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945, di
antaranya adalah:
1) Penyimpangan
ideologis, yaitu konsepsi Pancasila telah berubah menjadi konsepsi Nasakom
(Nasionalis, Agama, dan Komunis).
2) Pelaksanaan
demokrasi terpimpin berubah menjadi pemusatan kekuasaan pada presiden dengan
wewenang yang melebihi dari ketentuan yang ada di UUD 1945, yaitu mengeluarkan
produk hukum setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR, dalam bentuk
penetapan presiden (penpres).
3) Pengangkatan
Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS melalui ketetapan MPRS No
III/ MPRS/1963
4) Presiden
pada tahun 1960 membubarkan DPR hasil pemiiu tahun 1955, karena DPR tidak
menyetujui RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Selanjutnya tanpa melalui
pemllu dibentuklah DPR-GR.
5) Hak
budget DPR tidak berjalan setelah tahun 1960 karena pemerintah tidak mengajukan
RUU- APBN untuk mendapat persetujuan dari DPR sebelum berlakunya tahun anggaran
yang bersangkutan.
6) Mengangkat
pimpinan lembaga tertinggi (MPRS) dan lembaga tinggi (DPR) negara menjadi
menteri negara, yang berarti juga sebagai pembantu presiden
7) Penyelewengan
politik luar negeri bebas aktif yaitu politik luar negeri yang berporoskan
Jakarta-Peking ,Phnompen - Pyong - Yang. Akibatnya terjadi konfrontasi dengan
Malaysia, dan pada akhirnya Indonesia keluar dari PBB.
Komentar
Posting Komentar